header-int

Juara 1 Lomba Esai Populer: Bagaimana Tasawwuf Hadir di Peradaban New Normal?

Kamis, 16 Jul 2020, 08:28:30 WIB - 971 View
Share
Juara 1 Lomba Esai Populer: Bagaimana Tasawwuf Hadir di Peradaban New Normal?

Oleh : Muhammad Nurkholis (Mahasiswa STAIMA Al-Hikam Malang, Jurusan PAI 2018)

Karen Armstrong menyatakan bahwa pada mulanya, kesadaran manusia atas kekuatan dahsyat di luar semseta muncul karena perasaan takut yang menghantui diri mereka di kehidupan. Rasa takut inilah yang menghantarkan manusia untuk mempraktikkan ritus spiritual sebagai sebuah bentuk proposal memohon bantuan perotolongan dan perilndungan kepada pemangku kekuatan dahsyat itu atas apa yang mereka, para manusia, takutkan.

Manusia yang berprofesi sebagai petani takut jika lahan-lahan pertanian mereka kekurangan air, akhirnya manusia menyerahkan sesembahan kepada dewa langit sebagai ritus spritual untuk memohon agar dewa langit tidak segan menurunkan hujan dan kalaupun hujan, para petani memohon agar dewa langit tidak menurunkan hujan yang dapat merusak tanaman mereka.

Hal yang sama juga berlaku kepada nelayan, mereka memberikan sesembahan kepada dewa laut sebagai ritus spritual untuk memohon perlindungan kepada dewa laut dikala mereka akan melaut dan berharap diberi hasil tangkapan yang melimpah sekembalinya dari melaut.

Demikianlah perilaku manusia purba terhadap kesadaran dirinya yang lemah sehingga merasakan sebuah kebutuhan untuk melakukan ritus spiritual dalam rangka memohon pertolongan dan meminta perlindungan.

Tapi tidak ada hal yang berlaku sama untuk para politikus, para politikus sejak dahulu kala selalu menggunakan apa saja untuk memuluskan kepentingan-kepetingan politik mereka. Mereka mampu melakukan agitasi kasat mata untuk menjadikan ritus spiritual sebagai kekuatan politik mereka. Baik politikus purba maupun politikus moderen sama saja. Dan ini soal lain, kita tidak sedang membicarakan para politikus yang dari dulu tidak mengalami perkembangan.

Perkembangan manusia begitu maju dan begitu cepat kita rasakan. Manusia purba yang pada awalnya melakukan ritus spritual untuk memohon perlindungan dan meminta pertolongan dari kekuatan yang tidak bisa mereka kendalikan, kini tergantikan oleh manusia moderen. Para dewa yang menjadi tempat penyembahan manusia purba, kini terdegradasi dengan berkembangnya ilmu pengetahuan untuk mengolah, mengatur, memprediksi, dan segalanya tentang keinginan manusia menghilangkan ketakutan pada kekuatan yang tidak bisa mereka kendalikakan.

Manusia moderen, yang juga berasal dari manusia purba, lebih mempercayai prediksi-prediksi cuaca untuk memulai kapan baiknya memulai bercocok tanam dari pada harus menyembahkan tumbal sebab selain dinilai sia-sia, gengsi karena ditertawakan sebagai klenik sepertinya lebih dipertimbangkan.

Keduanya, manusia purba atau manusia moderen, sebenarnya memiliki pola yang sama. Keduanya tetap memiliki perilaku yang sama terhadap kekuatan-kekuatan dahsyat di luar semesta. Hanya cara mereka melakukan ritus spiritual saja yang berbeda. Manusia moderen yang mempercayai prediksi-prediksi cuaca, akan mencari penyedia aplikasi prediksi cuaca dan rela merogoh kocek lebih sebagai tumbal yang pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan menusia purba yang melakukan sesembahan kepada dewa langit.

Pada akhirnya, ritus yang terjadi tanpa penghayatan terhadap pemaknaan akan ritus tersebut, baik yang terjadi pada manusia purba dengan dewa-dewanya atau manusia modern dengan aplikasi peramal cuacanya, hanya akan menjadi sebuah kultus. Dan kultus tidak akan memberikan sebuah ketenangan, alih-alih mendapat ketenangan jiwa dari kekuatan dahsyat di luar alam semesta.  Demikianlah yang di peringatkan oleh Syekh Sya’id Ramadlan Al-Buthi pada buku fiqih sirahnya.

Kehadiran Tasawwuf

Dr. Tantawi Thabanah dalam pengantarnya untuk kitab Ihya’ Ulumuddin mengungkapkan bahwa pada mulanya Tasawwuf hadir untuk pertama kalinya karena represi yang berlebihan dari pemerintahan khilafah bani umayyah. Masyarakat melarikan semua permasalahan yang timbul karena ulah bani umayyah kepada Allah SWT.

Pelarian ini, akhirnya menciptakan sebuah kultur baru di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Mereka meyakini bahwa dengan membuka tangan lebar-lebar kepada Allah Swt. Manusia dapat menemukan ketenangan jiwa dan rasa takut akan kekuatan dahsyat di luar semesta akan sirna.

Kalau kita amati dengan seksama, maka akan kita dapati sebuah benang merah menarik dari manusia purba, manusia modern dan masyarakat di masa khilafah bani umayyah. Benang merah itu adalah terletak pada cara ketiganya mengatasi rasa takut yang mereka khawatirkan. Manusia purba maupun manusia modern, terlalu ambisius untuk melakukan ritus yang mereka yakini akan mampu mengatasi perasaan takut itu. Sedangkan masyarakat era khilafah bani umayyah berbeda, dengan melarikan diri kepada tuhan (untuk selanjutnya disebut tasawwuf) serta memasrahkan rasa diri kepada pemilik kekuatan di luar semesta itu, mereka menemukan ketenangan.

Ritus yang dilakukan oleh manusia purba dan manusia modern lebih bersifat proteksi diri sedangkan ritus yang dilakukan oleh masyarakat era khilafah Umayyah lebih bersifat pengabdian yang bernilai pemasrahan diri. Sehingga rasa takut itu hilang sebab keyakinana diri bahwa dirinya adalah seorang pengabdi dan tidak memiliki hak apapun atas apa yang akan terjadi selanjutnya meskipun dirinya telah melakukan apa saja. Represi dalam bentuk apapun, ancaman dari manapun tidak akan mampu menghilangkan rasa takut itu sendiri.

Tasawwuf dan New Normal

Di tengah-tengah kekalutan dunia dengan mewabahnya pandemi covid-19 ini, manusia benar-benar merasakan ketakutan yang luar biasa. Kelaparan, runtuhnya perekonomian,  dan kriris-krisis sosial menghantui hampir seluruh penjuru dunia. Sama persis dengan ketakutan yang dialami oleh manusia purba, manusia modern, dan masyarakat era khilafah Umayyah.

Oleh karenanya, penting kiranya kita untuk bisa mengambil perilaku yang dipraktikkan oleh masyarakat pada era khilafah umayyah. Melakukan aktifitas dengan tetap mematuhi protokol kesehatan dan memasrahkan diri kepada tuhan sebagai bentuk pengabdian dan bukan sebagai bentuk proteksi diri, akan memberikan ketenangan yang mewujud dalam rahmat tuhan.

Dengan demikian, tasawwuf di era new normal ini adalah dengan terciptanya harmoni antara kepercayaan (iman) kepada Allah, percaya kepada pemerintah, dan percaya kepada tenaga medis.

AL-HIKAM Pondok Pesantren Al-Hikam resmi berdiri pada 17 Ramadan 1413 bertepatan dengan 21 Maret 1992. Sebagai pelopor pesantren khusus mahasiswa, lembaga pendidikan Islam ini memiliki tujuan memadukan dimensi positif perguruan tinggi yang menekankan pada ilmu pengetahuan dan teknologi dengan dimensi positif pesantren yang akan menjadi tempat penempaan kepribadian dan moral yang benar.
© 2016 - 2024 Pesantren Al-Hikam Malang Follow Pesantren Al-Hikam Malang : Facebook Twitter Linked Youtube