Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional islam yang ada untuk memafhumi, menghayati dan mengimplementasikan ajaran agama islam (tafaqquh fiddin) dengan menekankan moral agama sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang memiliki andil penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga ini layak diperhitungkan dalam pembangunan bangsa Indonesia dalam bidang pendidikan, keagamaan, dan moral.
Merespons pemberlakuan New Normal ditegaskan, “New Normal, sebagai tahapan lanjut dari cara menghalau laju penularan Covid-19, bagi pesantren harus disikapi dengan cara pandang, pola pikir, dan perilaku sarta tradisi pesantren. Oleh karena itu, disepakati perlunya dirumuskan pemaknaan ‘New Normal Ala Pesantren.’”
Lantas, bagaimana pesantren mensyarahi New Normal? Berikut adalah 5 makna New Normal ala pesantren Pertama, New Normal bagi Pesantren dimaknai sebagai momentum untuk muhasabah (introspeksi), mujahadah (bersungguh-sungguh), dan muraqabah (merasa selalu di awasi). New Normal sebagai momentum untuk mengevaluasi diri terhadap apa pun yang telah dilakukan, baik hubungan vertikal kepada Allah, maupun hubungan horizontal kepada sesama manusia dan kepada lingkungan sekitar.
New Normal juga sebagai momentum untuk berusaha secara optimal untuk menundukkan hawa nafsu serta kepentingan-kepentingan rendahan dan sesaat, dan bersungguh-sungguh terhadap apa pun yang akan dilakukan ke depan hanya dalam rangka menggapai ridla Allah. New Normal sebagai momentum pula untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, kepada Rasulullah, dan kepada masyarakat. Dengan demikian pesantren akan menjadi role-model bagi yang lain. Oleh sebab itu, pada masa pandemi ini pesantren juga ikut andil dalam menghadapi Covid-19, itu bisa dilihat dari dicetuskannya sebuah program “Pesantren Tangguh”
Kedua, New Normal bagi Pesantren dimaknai sebagai momentum untuk tajdidul iman (memperbaharui keimanan), kembali hidup dengan konsisten mengikuti seluruh ajaran Nabi, termasuk ajaran hidup bersih dan sehat ala Nabi. Dengan demikian, pesantren bisa melanjutkan peran dan fungsinya sebagai tempat talaqqiy, tempat bertemu muka antara santri dengan para kyai dan ustadz, dan tempat ta’assiy, tempat santri meneladani perilaku para kyai dan ustadz, dengan dikawal oleh protokol kesehatan yang ketat dan terukur sehingga ikhtiyar dan tawakkal dapat disinergikan.
Ketiga, New Normal bagi Pesantren dimaknai sebagai momentum untuk mengembalikan pesantren tidak hanya sebagai agen perbaikan moral, agen transformasi ilmu pengetahuan Islam (tafaqquh fiddin), agen pengembangan soasial, agen peningkatan ekonomi, melainkan juga sebagai agen kesehatan masyarakat.
Keempat, New Normal bagi Pesantren dimaknai sebagai momentum pemerintah untuk tidak memandang sebelah mata dan tidak menganak tirikan pesantren, melainkan pemerintah harus hadir dan memberikan perhatian serta kepedulian yang penuh dan utuh sebagaimana yang selama ini pemerintah lakukan terhadap warga masyarakat yang lain, tidak lebih dan tidak kurang.
Sejatinya, pelaksanaan new normal di pesantren bukanlah hal yang terlalu mengkhawatirkan dan sulit dilakukan jika pemerintah dan pesantren memiliki sinergi yang kuat. Sebab, menggantungkan sepenuhnya kepada pemerintah terkait pelaksanaan new normal di pesantren sangatlah tidak mungkin. Begitu pula menyerahkan kepada pesantren an sich untuk mempersiapkan dirinya menghadapi new normal juga sangat berisiko. Kerja sama substantif antarkeduanya ditopang oleh kesadaran dan kegotong-royongan wali santri, masyarakat sekitar, dan sejumlah organisasi sosial keagamaan-kemasyarakatan maupun partai politik niscaya sangat diperlukan.
Salah satu kunci utama pelaksanaan new normal di pesantren sangat tergantung kepada kesiapan dan konsistensi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan komprehensif kepada pesantren meliputi sejumlah hal. Pertama, kesediaan payung hukum disertai alokasi anggaran yang cukup untuk pesantren.
Bentuk kebijakan dan intervensi pemerintah setidaknya mencakup keluarnya regulasi (aturan dan kebijakan) new normal bagi pesantren mulai dari skenario dan penanganan pengembalian santri ke pesantren, panduan metode dan proses belajar mengajar new normal di pesantren, bantuan sarana prasarana pendukung pembelajaran jarak jauh, memberikan bantuan bagi pendidik dan tenaga kependidikan, hingga bantuan sarana prasarana pesantren menghadapi new normal.
Penulis: Mutmainnah (Mahasiswa STAIMA Al-Hikam Malang, Jurusan PAI 2019)