header-int

Kematian Hati

Selasa, 05 Mar 2019, 12:14:38 WIB - 3467 View
Share
Kematian Hati

 

Kematian Hati

Hati dalam diskursus ilmu tasawwuf dianalogikan sebagai raja. Jika hati sebagai raja ini dalam kondisi yang baik, maka tubuh yang dipimpin oleh hati sebagai raja akan ada dalam kondisi baik pula. Namun sebaliknya jika hati ini dalam kondisi baik, maka tubuh akan menerima konsekuensi yang sama seperti hati.

Hati, sebagaimana raja pada umumnya, dia dapat juga mati. Yang itu artinya tubuh akan mengalami kekacuan sebab hati sebagai raja telah meninggal. Imam Ahmad Bin Muhammad Bin Abdul Karem Bin Athoillah As-Sakandari atau lebih familiar dengan laqob (sebutan) Ibnu Athoillah As-Sakandari dalam magnum opusnya Kitab Al-Hikam telah memberikan ciri-ciri akan kematian sang raja bagi tubuh ini, hati. Beliau berkata:

 

 

Artinya : sebagian tanda dari matinya hati adalah tidak adanya rasa sedih ketika suatu kewajiban ditinggal, serta tidak merasa kecewa ketika melakukan suatu perbuatan melanggar dosa.

KH. Muhammad Nafi’ dalam pengajian rutin setiap Ahad pagi menyampaikan bahwa kematian hati ini dapat teridentifikasi tatkala seseorang yang memiliki kesempatan untuk berbuat baik namun tidak digunakan dengan sebaik mungkin, sungguh disayangkan tatkala seseorang tersebut tidak merasa sedih atas tindakan itu. “kesempatan itu berlalu begitu saja” dawuh beliau.

Imam Muhammad bin Ibrahim, dalam mengomentari maqolah Imam Ibnu Athoillah As-Sakandari yang ke-lima puluh empat ini memberikan komentar bahwa alasan mengapa ketidak mampuan hati untuk merasa bersedih atau menyesal atas kelalaian itu adalah:

Perbuatan seorang hamba dibagi menjadi dua, perbuatan baik dan perbutan buruk. Keduanya, perbuatan baik dan perbuatan buruk, merupakan tanda atas adanya ridlo dari Allah SWT. Terhadap hamba dan juga sebagai tanda adanya murka Allah SWT kepadanya. Sehingga tatkala Allah menetapkan pada hambanya untuk beramal baik, maka hal ini adalah tanda bahwa dirinya sedang dalam ridlonya. Tatkala dalam kondisi ini, maka akan bertambahlah harapan kepada Allah. Namun tatkala Allah menarik Ridlo darinya dan tidak menjaganya, maka hamba ini akan melakukan kemaksiatan dan akan membuat hamba ini menyadari bahwa dirinya sedang dalam murka Allah SWT.

Dari dua pandangan ini, maka dapat disimpulkan bahwa kesadaran hati seorang hamba untuk tidak menyesal atas kesempatan yang terbuang sia-sia dan merasa kecewa atas perbuatan dosa yang dilakukannya maka ini merupakan tanda bahwa Hati sebagai raja dari sebuah kerajaan bernama  tubuh telah mati dari jiwa seorang hamba.

Penulis berpendapat bahwa kesadaran hati ini, bisa dan akan timbul dari seorang yang telah istiqomah dalam melakukan ibadah kepada Allah. Apakah orang tidak istiqomah dalam beribadah tidak dapat merasakan kesadaran ini? Bisa saja. Namun penting diketahui, bahwa hati yang mudah bergejolak ini sangat sulit ditebak. Kesadaran yang timbul dari hati harus menimbulkan sebuah perubahan dalam hidup, dan ini tidak mudah karena hasil dari sebuah ke-istiqimoh-han ini juga sangat besar. Sebagaimana sebuah maqolah “istiqomah (konsistensi) lebih baik dari seribu kemulian


by santrikiri

 

YouTube >> Kematian Hati - Ustadz Moh. Nafi'                  

Al-Hikam Media Center

AL-HIKAM Pondok Pesantren Al-Hikam resmi berdiri pada 17 Ramadan 1413 bertepatan dengan 21 Maret 1992. Sebagai pelopor pesantren khusus mahasiswa, lembaga pendidikan Islam ini memiliki tujuan memadukan dimensi positif perguruan tinggi yang menekankan pada ilmu pengetahuan dan teknologi dengan dimensi positif pesantren yang akan menjadi tempat penempaan kepribadian dan moral yang benar.
© 2016 - 2024 Pesantren Al-Hikam Malang Follow Pesantren Al-Hikam Malang : Facebook Twitter Linked Youtube