header-int

Khutbah Idul Adha: Mendidik Jiwa Dari Mimbar Idul Adha

Selasa, 01 Jul 2025, 06:34:04 WIB - 3 View
Share

Malang (6/6/25) – Suasana hangat dan khidmat mengisi halaman Masjid Al Ghozali, Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang pada Jumat pagi saat gema takbir masih menggema di langit Dzulhijjah. Dalam momen Idul Adha 1446 H ini, Ustadz Dr. Ahmad Izzuddin menyampaikan khutbah penuh makna yang mengangkat tema besar: pengorbanan Nabi Ibrahim sebagai fondasi spiritual dan pendidikan karakter keluarga Muslim.

Khutbah yang disampaikan secara lugas namun menyentuh ini membawa para jamaah untuk merenungkan makna terdalam dari ibadah kurban. Lebih dari sekadar penyembelihan hewan, kurban menjadi cermin ketundukan, keikhlasan, dan pendidikan nilai untuk keluarga.

Ustadz Ahmad membuka khutbah dengan mengajak jamaah untuk mensyukuri nikmat Allah SWT, terutama nikmat iman, Islam, dan usia. “Syukur atas nikmat ini seharusnya mendorong kita menjadi pribadi yang bertakwa,” ungkap beliau. Takwa, menurutnya, bukan semata sikap spiritual pribadi, tetapi tekad untuk menjadikan seluruh aspek hidup, termasuk keluarga yang selaras dengan perintah Allah.

Dalam bagian utama khutbahnya, Ustadz Ahmad mengajak jamaah untuk meneladani keluarga Nabi Ibrahim AS, yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai salah satu keluarga terbaik yang pernah ada. Ketika Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih putranya, Ismail, tak ada penolakan. Bahkan, Ismail menjawab, “Wahai Ayahku, lakukan apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku sebagai orang yang sabar.” Kisah ini, menurut Ustadz Ahmad, bukan sekadar sejarah. “Itu adalah pelajaran bagi semua keluarga. Bahwa mendidik anak untuk patuh kepada Allah dimulai dari teladan ayah dan keteguhan ibu,” ujarnya.

Dalam khutbahnya, Ustadz Ahmad menyebut bahwa Nabi Ibrahim bukanlah orang biasa. Ia adalah orang yang sangat kaya, dengan ribuan ternak. Namun, kekayaan sejatinya bukan diukur dari jumlah hartanya, melainkan sejauh mana ia sanggup mengorbankan apa yang ia cintai untuk Allah.

“Kalaupun Allah meminta anak yang paling disayangi, Ismail, maka Nabi Ibrahim siap melakukannya,” tegas beliau. Maka, ibadah kurban bukan soal harga kambing atau jumlah sapi, tetapi soal keikhlasan dan kedekatan dengan Allah.

Kurban, menurut Ustadz Ahmad, bukan hanya bentuk kepatuhan personal kepada Allah (dimensi vertikal), tetapi juga bentuk kepedulian terhadap sesama (dimensi horizontal). Ketika daging kurban dibagikan kepada tetangga dan fakir miskin, nilai solidaritas tumbuh dan rasa persaudaraan terbangun. Beliau menegaskan, “Kurban adalah bentuk ibadah yang mengajarkan bahwa cinta kepada Allah dan kasih sayang kepada sesama harus berjalan bersama.”

Ustadz Ahmad memperdalam makna khutbahnya dengan menyentuh isu keluarga. Ia mengutip doa Nabi Ibrahim dalam Al-Qur’an: “Ya Allah, jadikan aku dan anak cucuku sebagai orang yang menegakkan shalat.” Menurutnya, doa ini adalah pengingat bahwa keluarga adalah tempat pertama dan utama dalam menanamkan nilai keimanan.

Namun, beliau juga memperingatkan, betapa seringnya kasih sayang orang tua kepada anak malah menjerumuskan. Dengan menyinggung kisah Nabi Nuh dan putranya Kan’an, beliau menyampaikan bahwa sekalipun seorang nabi, tidak bisa menyelamatkan anaknya jika sang anak enggan mengikuti kebenaran.

Ustadz Ahmad juga membahas contoh nyata dalam kehidupan hari ini. Ia menceritakan peristiwa di mana seorang ibu yang sangat mencintai anaknya sampai menyuap hakim agar anaknya lolos dari hukuman pembunuhan. Hasilnya? Si anak dibebaskan, tapi sang ibu, hakim, dan semua yang terlibat justru masuk penjara.

Menjelang penutup khutbah, Ustadz Ahmad menekankan bahwa kurban bukan sekadar ibadah tahunan, tapi pelajaran hidup untuk setiap anggota keluarga. Baik ayah, ibu, maupun anak perlu bertanya: Apakah pengorbanan mereka selama ini mendekatkan keluarganya kepada Allah, atau justru menjauhkan? Khutbah ditutup dengan ajakan untuk menjadikan keluarga seperti Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail. Keluarga yang bukan hanya harmonis di dunia, tapi juga layak berkumpul di surga.

“Semoga Idul Adha ini bukan hanya menjadi hari raya dengan makanan berlimpah, tetapi menjadi momen mendekatkan hati dan memperkuat iman dalam rumah tangga kita,” tutup beliau.

 

AL-HIKAM Pondok Pesantren Al-Hikam resmi berdiri pada 17 Ramadan 1413 bertepatan dengan 21 Maret 1992. Sebagai pelopor pesantren khusus mahasiswa, lembaga pendidikan Islam ini memiliki tujuan memadukan dimensi positif perguruan tinggi yang menekankan pada ilmu pengetahuan dan teknologi dengan dimensi positif pesantren yang akan menjadi tempat penempaan kepribadian dan moral yang benar.
© 2016 - 2025 Pesantren Al-Hikam Malang Follow Pesantren Al-Hikam Malang : Facebook Twitter Linked Youtube