Malang (20/6/25) – Dalam suasana yang sejuk dan tenang, para jamaah Masjid Al Ghozali berkumpul untuk melaksanakan Salat Jumat. Khutbah kali ini disampaikan oleh Ustadz Anis Jamil, yang mengangkat tema besar seputar esensi ibadah yang sejati dan pentingnya kepekaan sosial sebagai manifestasi ketakwaan kepada Allah.
Mengawali khutbahnya, Ustadz Anis mengajak jamaah untuk senantiasa memperbaiki kualitas keimanan dan ketakwaan. Menurut beliau, ketakwaan yang sejati adalah yang berdampak pada kehidupan sosial, bukan hanya dalam ritual semata. “Sesungguhnya, yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa,” kutip beliau dari QS. Al-Hujurat ayat 13.
Momen khutbah ini juga bertepatan dengan musim haji. Ustadz Anis mengaitkan pelaksanaan ibadah haji sebagai simbol nyata dari persatuan dan kesetaraan antar umat Islam. Di hadapan Ka'bah, tak ada perbedaan status sosial. Semua mengenakan pakaian ihram yang sama, tanpa warna, pangkat, atau gelar. “Ibadah haji adalah bentuk nyata dari semangat persaudaraan Islam. Siapapun orangnya, dari mana pun asalnya, semua datang dengan satu niat: memenuhi panggilan Allah,” ungkap beliau.
Menurutnya, ibadah haji bukan hanya ibadah fisik dan spiritual, tetapi juga sarat makna sosial. Ketika seorang Muslim mampu menanggalkan atribut duniawinya, itulah simbol kesadaran akan kesetaraan yang sejati.
Ustadz Anis kemudian mengarahkan perhatian jamaah pada tafsir Surat Al-Ma’un, yang menurutnya sangat relevan dengan kondisi umat saat ini. Dalam surat itu, Allah mengecam mereka yang mendustakan agama. Namun, menariknya, bukan karena mereka tidak beriman, tetapi karena mereka tidak peduli kepada anak yatim dan fakir miskin.
“Yang disebut mendustakan agama bukan mereka yang tak percaya pada Allah, tapi mereka yang shalat, puasa, haji, tapi menutup mata terhadap penderitaan orang lain,” ujar beliau. Ia menekankan bahwa ketulusan ibadah selalu harus tercermin dalam kepedulian sosial.
Ustadz Anis mengutip tafsir Syaikh Wahbah Zuhaili bahwa surat tersebut berbicara tentang dua hal utama: pertama, orang yang tidak memiliki empati dan kepedulian sosial; kedua, mereka yang beribadah hanya untuk pencitraan atau mencari pujian.
Dalam khutbahnya, Ustadz Anis juga menyampaikan sabda Rasulullah yang diriwayatkan dalam kitab Nashoihul Ibad: “Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan amal yang paling utama adalah membahagiakan hati seorang mukmin, mengenyangkan orang yang lapar, dan meringankan beban orang yang tertimpa kesulitan.”
Menurut beliau, ini adalah standar tinggi bagi seorang Muslim. Bukan banyaknya rakaat salat sunah yang menjadi tolok ukur, melainkan seberapa besar pengaruh positif kita terhadap orang di sekitar.
Menjelang akhir khutbahnya, Ustadz Anis menukil pernyataan Rasulullah tentang dua perbuatan paling keji di dunia: syirik kepada Allah dan zalim kepada sesama manusia. Kezaliman, jelas beliau, tidak selalu berupa kekerasan fisik. Bisa juga dalam bentuk verbal, sikap, atau ketidakpedulian terhadap penderitaan orang lain. Bahkan, membiarkan orang kelaparan padahal kita mampu membantu, juga termasuk bentuk kezaliman yang nyata. Beliau menegaskan bahwa ketidakpedulian terhadap kondisi sosial adalah tanda lemahnya iman, bahkan bisa membuat seseorang dianggap mendustakan agama, seperti yang dikritik dalam Surat Al-Ma’un.
Ustadz Anis menutup khutbahnya dengan ajakan untuk muhasabah (evaluasi diri). Ia mengingatkan jamaah agar tidak terjebak dalam rutinitas ibadah yang kosong makna. Sebaliknya, ia mendorong agar setiap Muslim menumbuhkan rasa empati yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. “Bukan hanya soal berapa banyak ibadah yang kita lakukan, tapi sejauh mana keberadaan kita menjadi manfaat bagi sesama. Itu yang Allah lihat,” ucap beliau.