Al Hikam (AMC.) - Dalam khutbah Jumat yang disampaikan pada 2 Mei 2025 di Masjid Al-Ghozali, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Abah Drs. Moh. Nafi’, mengajak jamaah untuk merenungkan tantangan zaman yang serba cepat dan canggih, khususnya terkait dengan kemajuan teknologi informasi dan kecerdasan buatan (AI). Di tengah derasnya arus kemudahan dan hiburan digital, Abah Nafi mengingatkan pentingnya kesadaran spiritual dan kendali diri, terutama agar umat tidak hanyut dalam dominasi hawa nafsu yang dikemas dalam bentuk modern.
Khutbah ini dibuka dengan rasa syukur atas nikmat Islam dan hidayah Allah, serta ajakan untuk memperbanyak cinta kepada Rasulullah SAW. Namun tak lama, Abah Nafi langsung membawa jamaah pada realita kehidupan sekarang—bahwa kita sedang hidup di era di mana teknologi, terutama AI seperti ChatGPT, Meta AI, dan Deepseek, semakin mudah diakses dan digunakan sehari-hari. “Manfaat jangka pendek dari AI memang terasa: kita dimudahkan untuk bekerja, belajar, dan berkomunikasi,” ujarnya. “Tapi jangan lupa, dampak jangka panjangnya bisa sangat dalam, bahkan bisa menyentuh pola pikir dan kepribadian kita.”
Salah satu contoh fenomenal yang disorot adalah viralnya berita tentang seorang pemuda yang “menikah” dengan AI bernama Sri bin ChatGPT. Meski belum bisa dipastikan kebenarannya, Abah Nafi menilai bahwa kemunculan kisah ini di media sosial sudah cukup menjadi alarm bagi kita: bagaimana teknologi bisa menggeser batas akal sehat dan nilai kemanusiaan bila tidak dikawal dengan iman dan akhlak. Mengutip sabda Rasulullah SAW, "Tidak sempurna iman seseorang sampai hawa nafsunya tunduk kepada apa yang aku bawa." Abah Nafi menjelaskan bahwa tantangan terbesar zaman ini adalah ketika hawa nafsu tak lagi tampak liar, tetapi menyamar dalam bentuk algoritma, rekomendasi konten, dan kecanduan digital. Dalam istilah sekarang, banyak orang telah menjadi "tawanan algoritma".
Beliau pun mengajak jamaah untuk mengenali istilah hawa nafsu, yang dalam Islam berarti dorongan naluriah untuk mencari yang enak, nyaman, dan menyenangkan. Tidak salah memiliki keinginan, namun bila tidak dikendalikan, ia bisa berubah menjadi kecanduan dan karakter buruk. Menurut Abah Nafi, hawa nafsu harus dibimbing dengan akal sehat dan mujahadah (latihan disiplin diri) agar tidak menjerumuskan kita. Dengan gaya santai namun tajam, beliau menyebut bahwa sekarang ini manusia mudah terjebak dalam kenyamanan semu. Gawai, media sosial, bahkan konten-konten AI telah menjadi “pelarian” yang bisa mematikan kepekaan hati. “Kalau kita tidak hati-hati, teknologi bisa menjadi Tuhan baru kita. Kita tidak lagi patuh pada wahyu, tapi tunduk pada apa yang sedang viral,” ujarnya.
Beliau menjelaskan, menurut Tafsir Al-Muyassar, ayat-ayat tersebut menjadi peringatan keras agar orang beriman tidak menjadikan hawa nafsu sebagai pendorong utama dalam hidup. Sebab jika itu terjadi, maka keputusan-keputusan penting dalam hidup tidak lagi berlandaskan iman atau ilmu, melainkan hanya mengikuti keinginan sesaat. Meskipun menyampaikan materi serius, suasana khutbah tetap terasa ringan. Jamaah diajak untuk tidak memusuhi teknologi, tapi menempatkannya secara bijak.
AI dan gawai hanyalah alat, mereka akan membawa manfaat jika kita gunakan dalam koridor kebaikan. “Islam tidak pernah anti kemajuan. Tapi kita diminta untuk tetap menjadikan Allah dan Rasul sebagai kompas utama,” tegas Abah Nafi. Sebagai penutup, beliau mengajak semua jamaah untuk tetap mencintai ilmu, menjaga akal sehat, dan meningkatkan ketakwaan. Karena sebesar apapun teknologi, tidak ada yang lebih menjamin keselamatan hidup kecuali hidayah dari Allah SWT. Khutbah ditutup dengan doa agar umat Islam selalu diberikan kemampuan untuk menahan diri, mengendalikan hawa nafsu, dan menjadikan dunia ini sebagai ladang amal menuju akhirat yang lebih baik.
Penulis: Muh. Noaf Afgani