header-int

Khutbah Jumat: Meraih Makna Haji Meski Tak Pergi ke Tanah Suci

Senin, 26 Mei 2025, 10:01:10 WIB - 40 View
Share

Malang (23/5/25) - Khutbah dimulai dengan pengingat agar umat Islam senantiasa menjaga iman, Islam, dan akhlak melalui jalan Ahlussunnah wal Jamaah. Menurut beliau, itulah kelompok yang dijanjikan Allah sebagai golongan yang selamat, selama tetap menjalankan syariat dengan sungguh-sungguh dan menjaga hati agar tetap hidup dan sehat.

Di tengah khutbah, Ustadz Anwar menyampaikan bahwa pada pagi itu sejumlah jamaah haji dari Kota Malang, termasuk dari Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, telah diberangkatkan menuju embarkasi Surabaya, sebagai awal dari perjalanan mereka ke tanah suci. Melihat momen ini, beliau mengajak jamaah untuk tidak hanya sekadar menonton dan melepas kepergian para jamaah, tetapi juga mendoakan mereka dengan tiga doa yang diajarkan Rasulullah:

“Zawwadakallhu at-taqwa – Semoga Allah membekalimu dengan takwa.
Ghafarakallhu dhanbaka – Semoga Allah mengampuni dosamu.
Yassarakallhu al-khaira aisum kunta – Semoga Allah memudahkanmu melakukan kebaikan di mana pun kamu berada.”

Namun, pertanyaan reflektif segera beliau lontarkan: Bagaimana dengan kita yang tidak pergi haji? Apakah hanya tinggal diam dan menunggu kesempatan datang? Jawabannya: tidak.

Dalam khutbahnya, Ustadz Anwar mengutip hikmah dari ulama besar Ibnu Rajab. Beliau menyampaikan bahwa meski seseorang tidak mampu menunaikan haji secara fisik, ia tetap bisa mengambil makna-makna spiritual dari ritual haji dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Contohnya, meskipun kita tidak bisa berdiri di padang Arafah untuk berwukuf, kita bisa “berwukuf” dengan berhenti sejenak dan mengevaluasi diri—melihat apakah kita sudah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ini adalah waktu terbaik untuk muhasabah, mengukur kualitas diri kita di hadapan Allah.

Jika tidak bisa mabit di Muzdalifah, maka “bermalamlah dalam ketaatan kepada Allah,” kata beliau, mengutip Ibnu Rajab. Artinya, sempatkan waktu untuk merenung, beribadah, dan mendekat kepada Allah meski di kamar sendiri. Tidak ada syarat lokasi untuk menjadi hamba yang dekat dengan-Nya.

Tidak bisa menyembelih hewan hadyu di Mina? Maka sembelihlah hawa nafsumu, ujar beliau. “Itulah kurban sejati,” lanjutnya. Menahan keinginan yang tidak baik, melawan ego, dan meninggalkan maksiat adalah bentuk pengorbanan spiritual yang bisa dilakukan siapa pun, di mana pun.

Selanjutnya, Ustadz Anwar juga menekankan bahwa perjalanan haji bukan hanya soal finansial. Banyak orang mampu secara materi, tetapi belum dipanggil. Karena hakikat haji adalah pilihan Allah, bukan semata-mata hasil dari usaha manusia. Beliau juga menyinggung kasus-kasus beberapa orang yang berangkat haji menggunakan jalur tidak resmi, seperti visa ziarah atau visa pekerja, yang akhirnya berdampak pada ditolaknya ibadah mereka dan larangan masuk ke tanah suci selama bertahun-tahun.

Khutbah kemudian diakhiri dengan ajakan untuk menjadikan semangat haji sebagai semangat harian, bukan hanya ritual musiman. Kita bisa belajar dari tiap rukun dan makna haji: kesabaran saat wukuf, kebersamaan saat tawaf, semangat perjuangan dalam sa’i, dan keikhlasan dalam berkurban. Khutbah Jumat kali ini menjadi semacam suntikan harapan dan penyegar iman. Bagi banyak orang yang belum berkesempatan berangkat ke Makkah, khutbah ini mengingatkan bahwa Allah itu dekat, dan ibadah tidak selalu butuh jarak dan biaya, tapi yang paling utama adalah niat, ketulusan, dan usaha untuk terus mendekat kepada-Nya.

AL-HIKAM Pondok Pesantren Al-Hikam resmi berdiri pada 17 Ramadan 1413 bertepatan dengan 21 Maret 1992. Sebagai pelopor pesantren khusus mahasiswa, lembaga pendidikan Islam ini memiliki tujuan memadukan dimensi positif perguruan tinggi yang menekankan pada ilmu pengetahuan dan teknologi dengan dimensi positif pesantren yang akan menjadi tempat penempaan kepribadian dan moral yang benar.
© 2016 - 2025 Pesantren Al-Hikam Malang Follow Pesantren Al-Hikam Malang : Facebook Twitter Linked Youtube