Malang (6/6/25) – Dalam suasana jelang Idul Adha 1446 H, Masjid Al Ghozali menjadi saksi penyampaian khutbah yang mengangkat tema mendalam seputar makna ibadah kurban. Disampaikan oleh Ustadz Kholilul Adzim yang mengajak jamaah untuk melihat kurban bukan sekadar penyembelihan hewan, tapi sebagai ibadah yang sarat nilai sosial dan spiritual.
Khutbah dibuka dengan ajakan untuk mensyukuri nikmat iman dan Islam. Ustadz Kholilul menyampaikan bahwa keberadaan kita dalam majelis Jumat adalah bentuk nikmat yang patut disyukuri, terutama karena berada di bulan mulia, Dzulhijjah jadi bulan yang menjadi momen penting dalam kehidupan umat Islam.
Tema sentral khutbah ini berputar pada kurban dalam tinjauan maqashid syariah, yaitu lima tujuan pokok dalam ajaran Islam. Kurban, menurut beliau, bukan hanya ibadah ritual (mahdhoh), melainkan juga ibadah sosial (ghairu mahdhoh). Selain beribadah kepada Allah, kurban juga mengandung nilai kemanusiaan dan penguatan solidaritas sosial. “Kurban adalah bentuk pengorbanan, ketundukan, dan rasa syukur kita. Tapi lebih dari itu, ia juga membawa manfaat besar bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang jarang atau bahkan tidak pernah mengonsumsi daging,” jelas beliau.
Ustadz Kholilul kemudian menguraikan lima dimensi maqashid syariah yang relevan dengan ibadah kurban:
- Menjaga Agama (Hifzuddin), Kurban menjadi wujud nyata ketaatan kepada perintah Allah, meneguhkan komitmen spiritual seorang Muslim. “Daging dan darah hewan kurban tidak sampai kepada Allah, tapi ketakwaan kita yang Allah nilai,” tegas beliau, mengutip Surah Al-Hajj ayat 37.
- Menjaga Jiwa (Hifzun Nafs), Pembagian daging kepada fakir miskin adalah bentuk nyata kepedulian terhadap kehidupan orang lain. Ini menjadi cara kita menjaga keberlangsungan hidup sesama, terlebih saat hari raya.
- Menjaga Akal (Hifzul ‘Aql), Kurban bukan soal ikut-ikutan, tapi memahami maknanya secara rasional. Kurban mengajarkan kesadaran, bukan sekadar mengikuti tradisi. “Setiap ibadah harus dimengerti, bukan hanya dijalani,” ungkap beliau.
- Menjaga Keturunan (Hifzun Nasl), Daging kurban mendukung kebutuhan gizi keluarga miskin, termasuk anak-anak. Dengan itu, kita membantu menjaga generasi yang sehat dan kuat.
- Menjaga Harta (Hifzul Mal), Meskipun mengeluarkan uang, kurban adalah cara untuk membersihkan harta. “Sedekah tak mengurangi harta,” ujar beliau, mengutip hadits Nabi SAW.
Beliau juga menyampaikan kembali kisah agung Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail, yang menjadi pondasi ibadah kurban. Ketika Nabi Ibrahim mendapat perintah dalam mimpi untuk menyembelih anaknya, Ismail justru menunjukkan kepatuhan dan kesabaran luar biasa. “Kerjakan perintah itu, Ayah. InsyaAllah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar,” kutip beliau dari kisah tersebut.
Menurutnya, kisah ini bukan hanya pengingat sejarah, tapi teladan abadi tentang ketaatan tanpa syarat dan keikhlasan dalam berkorban. “Sebagai orang tua, kita harus belajar dari Nabi Ibrahim. Dan sebagai anak muda, jadilah seperti Nabi Ismail yang taat dan ikhlas,” seru beliau.
Dalam bagian akhir khutbah, Ustadz Kholilul menegaskan bahwa nilai kurban tidak diukur dari jumlah atau besarnya hewan yang disembelih. Tapi dari niat dan pengorbanan yang dilakukan dengan tulus karena Allah SWT. Beliau mengutip hadits yang menyatakan bahwa setiap bagian dari hewan kurban akan menjadi saksi di hari kiamat—dari tanduk, bulu, hingga kukunya. “Darah hewan kurban itu lebih dulu diterima Allah sebelum jatuh ke tanah,” jelasnya sambil mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah.
Sebagai penutup khutbah, beliau mengajak seluruh jamaah untuk mempersiapkan diri menyambut Idul Adha dengan semangat ibadah dan kepedulian. Ia berdoa agar Allah memberikan kelapangan rezeki bagi setiap keluarga Muslim, sehingga dapat melaksanakan kurban dengan hati yang lapang dan niat yang bersih. “Semoga Allah menerima ibadah kita, dan semoga kita dimampukan untuk menjadi bagian dari hamba-Nya yang taat dan peduli terhadap sesama,” tutup beliau.