Menurut Audrey O’ Brien (2009), omnibus law adalah suatu rancangan undang-undang (bill) yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang. Omnibus law bukanlah suatu sistem hukum baru yang ada di dunia. Omnibus banyak digunakan di negara yang memiliki masyarakat yang homogen serta menganut sistem hukum anglo saxon seperti Amerika Serikat, Belgia, maupun Inggris.
Konsep omnibus ini menawarkan pembenahan permasalahan yang disebabkan oleh banyaknya peraturan (over regulation) serta aturan yang tumpang tindih (overlapping). Omnibus dalam hal ini UU Cipta Kerja menjadi sorotan banyak pihak karena proses formilnya yang bermasalah serta substansi materiil yang masih perlu catatan.
Salah satu peraturan yang masuk dalam UU Cipta Kerja yaitu mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia. Ada beberapa pasal yang dianggap bermasalah oleh sebagian besar ahli hukum, aktivis lingkungan, maupun masyarakat. Pasal 7 ayat 2 UU Cipta Kerja yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbunyi “Batas wilayah perencanaan RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, RZ KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.” Pada pasal ini, pemerintah pusat mendapat kewenangan lebih untuk menetapkan batas wilayah perencanaan RZWP-3-K dan hal tersebut dapat memicu kesewenang-wenangan (abuse of power) sebab kewenangan ini dulu dalam UU 27/2007 jo UU 1/2014 diatur oleh pemerintah daerah.
Selanjutnya pasal 17 A ayat 1 UU Cipta Kerja yang berbunyi “Dalam hal terdapat kebijakan nasional yang bersifat strategis yang belum terdapat dalam alokasi ruang dan/atau pola ruang dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi, Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional dan/atau rencana tata ruang laut.” Pasal ini dianggap ambigu oleh pemerhati lingkungan sebab tata ruang wilayah nasional dan/atau rencana tata ruang laut ini tergantung dengan rencana atau kemauan pemerintah pusat. Tidak hanya itu, pasal ini juga menunjukkan bahwa tidak ada atau bahkan minim sekali partisipasi dari masyarakat. Padahal, justru mereka lah yang akan merasakan dampaknya baik secara langsung maupun tidak langsung dari kebijakan ini.
Minimnya partisipasi masyarakat, tidak adanya transparansi dalam pembentukan UU Ciptaker serta substansi yang bermasalah atau ambigu menjadi bukti bahwasannya UU Cipta Kerja ini bermasalah. Oleh sebab itu, Pemerintah sebaiknya meninjau ulang kembali UU Ciptaker agar dapat menghasilkan undang-undang yang berkualitas dan bermanfaat bagi seluruh warga Indonesia.
Oleh : Asosiasi Hukum
Penulis : Taufiqur Rahman Shaleh