
Al-Hikam (AMC.) – Dalam upaya meningkatkan kesadaran santri terhadap penyakit menular sekaligus mendorong deteksi dini, Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) Al-Hikam Malang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Malang melalui Puskesmas Kendalsari dan Puskesmas Cisadea menyelenggarakan kegiatan penyuluhan dan skrining Tuberkulosis (TBC). Kegiatan ini berlangsung pada Jumat, (2/5/ 2025), bertempat di Perpustakaan Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang dan diikuti oleh puluhan santri dari berbagai angkatan.
Kolaborasi ini menjadi wujud nyata komitmen Pesma Al-Hikam dalam menyinergikan nilai-nilai keagamaan dengan upaya promotif dan preventif kesehatan di lingkungan pesantren. Penyuluhan yang diberikan oleh tim kesehatan dari kedua puskesmas tersebut tidak hanya menjelaskan secara detail tentang gejala, penyebab, dan cara penularan TBC, tetapi juga memberikan edukasi mengenai pentingnya pola hidup bersih dan sehat (PHBS) sebagai langkah pencegahan utama.
Sebagai pembuka, pemateri menjelaskan bahwa baik TBC maupun DBD sama-sama memiliki tingkat penyebaran yang tinggi, dan bisa menjadi sangat berbahaya bila tidak ditangani sejak dini. Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan menyebar lewat udara terutama dari batuk atau bersin penderita aktif. Sedangkan Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit akibat virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, yang banyak berkembang biak di air tergenang.
Santri diajak memahami bahwa kedua penyakit ini bukan hanya soal medis, tapi juga soal perilaku dan kebersihan lingkungan. Dalam komunitas seperti pesantren, yang hidup secara berjamaah dan berbagi fasilitas, menjaga kesehatan pribadi menjadi bagian dari tanggung jawab sosial. Mencegah penyakit berarti menjaga diri sekaligus orang lain.
Penyuluhan ini juga membahas secara mendalam gejala-gejala yang harus diwaspadai dari kedua penyakit. TBC memiliki ciri khas berupa batuk berdahak yang berlangsung lebih dari dua minggu, disertai dengan berat badan menurun drastis, demam meriang, dan keringat malam tanpa sebab. Sedangkan DBD ditandai dengan demam tinggi mendadak, nyeri otot, mual, bintik-bintik merah pada kulit, dan penurunan trombosit. Hal menarik yang ditekankan pemateri adalah bahwa fase paling berbahaya dari DBD terjadi justru saat demam turun, karena itu adalah fase kritis. Banyak penderita merasa “sudah sembuh” padahal tubuh justru mengalami penurunan drastis daya tahan, sehingga diperlukan hidrasi yang optimal agar tidak terjadi syok.
Pencegahan menjadi bagian yang sangat ditekankan dalam penyuluhan ini. Untuk TBC, para santri diajak menerapkan etika batuk, seperti menutup mulut dengan tisu atau lengan bagian dalam, serta tidak meludah sembarangan. Selain itu, menjemur kasur, membuka jendela di pagi hari, dan menjaga sirkulasi udara dalam kamar adalah kebiasaan sehat yang sangat dianjurkan agar lingkungan tidak lembap dan pengap—tempat ideal berkembangnya bakteri TBC. Untuk DBD, pencegahan lebih berfokus pada pengendalian sarang nyamuk.
Para santri diingatkan untuk melaksanakan gerakan 3M: Menguras tempat penampungan air, Menutup rapat wadah air, dan Mengubur barang bekas yang berpotensi menampung air. Lingkungan pesantren harus selalu dijaga kebersihannya agar tidak menjadi habitat berkembang biaknya nyamuk Aedes. Hal menarik lainnya dari penyuluhan ini adalah pentingnya hidrasi dalam penanganan DBD. Pemateri menyebut bahwa konsumsi cairan elektrolit seperti oralit atau minuman isotonik (contohnya Pocari Sweat) terbukti membantu mempercepat pemulihan dan mencegah dehidrasi berat. Ini menjadi informasi praktis yang sangat bermanfaat bagi santri.
Dalam sesi penyuluhan yang membahas pentingnya menjaga hidrasi tubuh, para santri mendapatkan penjelasan bahwa Pocari Sweat merupakan salah satu minuman isotonik yang dapat membantu menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, terutama saat tubuh mengalami kehilangan cairan akibat demam atau diare. Minuman ini mengandung natrium dan kalium, yang berperan penting dalam proses rehidrasi. Dalam konteks penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), hidrasi memegang peran sangat penting untuk mencegah kondisi syok akibat kebocoran plasma darah, sehingga pemberian cairan yang cukup dan tepat sangat dianjurkan.
Sebagai penutup, dr.Iin Nurchozin, Sp. Paru sebagai pemateri menyatakan bahwa “setiap pasien TBC harus tetap di cek terkait HIV, dan kencing manis. Begitu juga sebaliknya. Karena terdapat keterkaitan kuat antara penyakit tersebut.” Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi antara infeksi kronis seperti TBC dengan penurunan sistem imun yang sering terjadi pada penderita HIV maupun diabetes. “Maka dari itu, marilah kita bersama-sama menjadi bagian dari generasi Indonesia 2030 yang bebas Tuberkolosis (TB).” – Tambahnya.
Penyuluhan kesehatan oleh Poskestren Al-Hikam ini menjadi langkah penting dalam memperkuat peran pesantren sebagai basis literasi kesehatan. Kombinasi antara pendidikan agama dan edukasi kesehatan seperti ini akan membentuk pribadi santri yang utuh: sehat jasmani, rohani, dan sosial. Melalui kegiatan ini, pesantren menunjukkan bahwa isu kesehatan bukanlah sesuatu yang terpisah dari pendidikan Islam. Justru, menjaga tubuh agar tetap sehat adalah bagian dari tanggung jawab keimanan. Seperti yang diajarkan dalam Islam, menjaga jiwa termasuk dari maqashid syariah, dan pencegahan penyakit adalah bagian dari amal saleh dalam bentuk ikhtiar. Dengan pemahaman ini, santri tidak hanya menjadi pelajar, tetapi juga pelopor garda depan perubahan gaya hidup sehat di lingkungan pesantren dan masyarakat luas.
Penulis: Muh. Noaf Afgani